Hujan, Banjir, dan Kopi Pahit di Musim Pilkada

Pagi itu hujan turun deras. Di luar, suara tetesan air di genting seperti simfoni yang terus menerus menggema. Di meja kecil di sudut ruangan, secangkir kopi tubruk mengepul pelan. Rasanya lebih pahit dari biasanya, mungkin karena berita-berita yang datang sejak subuh.

“Banjir bandang melanda Tapanuli Selatan,” kata penyiar salah satu TV swasta. Suaranya terdengar lirih, seolah ikut bersedih. Ratusan rumah terendam, beberapa hanyut bersama arus deras. Beberapa orang dikabarkan hilang. Bayangan akan air berlumpur yang mengalir deras membawa puing-puing rumah menghantui pikiran saya.

Tapanuli Selatan, tempat banjir itu terjadi, sebenarnya adalah tanah yang kaya. Bukan hanya kaya akan budaya dan keindahan alam, tapi juga salah satu penghasil kopi terbaik di Indonesia. Kopi Sipirok, nama yang akrab bagi para pecinta kopi, berasal dari wilayah ini. Dengan cita rasa khas yang sedikit fruity, nutty, dan seimbang, kopi Sipirok telah lama menjadi kebanggaan Tapanuli Selatan. Ironis rasanya, tanah yang memberikan kenikmatan lewat biji kopi juga menjadi saksi amarah air yang meluap karena ulah manusia.

“Pilkada terganggu akibat banjir,” sambung penyiar. Calon-calon pemimpin daerah hanya bisa berjanji, sementara warga bertanya-tanya apakah janji itu akan bertahan lebih lama dari musim penghujan.

Belum selesai menyerap kabar dari Medan, berita lain muncul. Kali ini tentang longsor di jalan nasional Berastagi. Jalan itu adalah urat nadi utama yang menghubungkan Medan dengan Tanah Karo. Kini terputus, tertimbun tanah dan bebatuan yang tak bisa dihentikan hujan deras. Truk-truk besar yang biasa melintas terjebak di tengah jalan. Para sopir duduk di pinggir, menunggu tanpa kepastian kapan jalan akan terbuka kembali.

Saya menyeruput kopi yang mulai berkurang panasnya, mencoba mencari pemahaman di tengah kekacauan. Semua ini terjadi hampir setiap tahun, tapi kita tetap tak pernah benar-benar siap. Hujan yang seharusnya membawa berkah selalu berubah menjadi musibah. Air meluap, tanah longsor, dan kehidupan berhenti sejenak dalam ketidakpastian.

Di Tapanuli Selatan, cerita banjir bandang itu mirip seperti yang pernah saya dengar dari seorang petani kopi di sana. “Gunung itu dulu penahan air, Pak,” katanya. “Sekarang hutan ditebang, jadi ya begini. Hujan sedikit, air langsung turun ke desa.”

Kata-kata itu terngiang lagi di kepala saya. Alam tak pernah salah. Ketika hutan hilang, akar-akar tak lagi mampu menahan air. Ketika tanah dibiarkan terbuka, longsor hanya menunggu waktu. Tapi kita tetap menutup mata, berpikir bahwa semua ini bisa diatasi hanya dengan bantuan darurat.

Berastagi adalah cerita lain. Jalan nasional itu sudah lama rapuh, terlalu sering dilalui kendaraan berat yang membawa hasil bumi dari Tanah Karo ke Medan. Ketika hujan datang, bebatuan yang menggantung di lereng bukit akhirnya menyerah. Longsoran besar terjadi, membawa serta harapan para petani yang bergantung pada kelancaran jalan itu.

Lalu ada Medan, kota yang sedang sibuk dengan Pilkada seperti kota lainnya. Di balik kampanye dan spanduk warna-warni, ada warga yang bertahan di tengah genangan. Di beberapa tempat, TPS terendam air, membuat warga kesulitan memberikan suara.

Semua ini seolah jadi ironi. Pilkada yang seharusnya membawa harapan, justru terganggu oleh bencana yang menunjukkan betapa rentannya kita. Para calon pemimpin berbicara tentang pembangunan, tapi apa arti pembangunan jika jalan terputus dan desa-desa tenggelam?

Saya menyeruput kopi lagi. Rasanya pahit, tapi tidak lebih pahit dari kenyataan yang kita hadapi. Kita tahu apa yang salah. Hutan yang gundul, drainase yang buruk, jalan yang tak dirawat. Tapi kita terus mengulang kesalahan yang sama, berharap hasil yang berbeda.

Di Tapanuli Selatan, warga kini sibuk membersihkan lumpur dari rumah mereka. Di Berastagi, alat berat bekerja keras membuka jalan yang tertimbun. Di Medan, Pilkada tetap berjalan, meski dengan segala keterbatasan. Hidup terus berjalan, seperti biasa.

Tapi sampai kapan? Sampai kapan kita menerima banjir, longsor, dan genangan sebagai bagian dari hidup? Sampai kapan kita menganggap ini sebagai takdir yang tak bisa diubah?

Saya menatap sisa kopi di cangkir, mencoba mencari jawaban. Mungkin, perubahan harus dimulai dari kita sendiri. Menanam pohon kembali di lereng-lereng gundul. Mengelola sampah dengan lebih baik. Memaksa pemerintah untuk tidak hanya berbicara, tapi juga bertindak nyata.

Hujan masih turun, tapi kali ini lebih pelan. Di luar, seorang anak kecil bermain genangan dengan riang. Saya tersenyum kecil, tapi di hati saya berdoa: semoga kelak mereka tumbuh di negeri yang tak lagi dihantui banjir dan longsor setiap musim hujan. Apalagi banjir di saat Pilkada.

One thought on “Hujan, Banjir, dan Kopi Pahit di Musim Pilkada

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *