Sungai itu mengalir pelan, membelah lembah hijau yang tenang. Dari kejauhan, airnya terlihat jernih, memantulkan sinar matahari pagi. Tapi bagi mereka yang tahu rahasianya, sungai ini lebih dari sekadar sumber air. Ia menyimpan cerita panjang tentang butiran kecil berkilauan yang telah menarik perhatian manusia sejak ratusan tahun lalu: emas.
Saya pernah mendengar cerita tentang sungai-sungai yang membawa emas di alirannya. Kisahnya hampir selalu sama. Sungai itu mengalir dari pegunungan tua, membelah batuan keras yang kaya mineral. Di tepian dan dasarnya, pasir-pasir gelap bercampur kerikil kecil sering mengandung kejutan. Kilauan emas yang terkadang hanya terlihat jika diperhatikan dengan saksama.

Pegunungan tua adalah saksi bisu dari perjalanan panjang bumi selama jutaan tahun. Di Indonesia, beberapa kawasan ini menjadi sumber utama sungai-sungai yang mengandung emas. Pegunungan Barisan di Sumatera, misalnya, membentang sepanjang pulau dari Aceh hingga Lampung. Wilayah ini terbentuk dari aktivitas tektonik purba yang meninggalkan jejak mineral berharga, termasuk emas. Sungai-sungai seperti Batanghari di Jambi dan Kampar di Riau mendapatkan emasnya dari batuan metamorfik dan vulkanik di pegunungan ini.
Di Kalimantan, Pegunungan Schwaner dan Meratus adalah dua kawasan tua yang menyimpan banyak cerita tentang emas. Pegunungan Schwaner, yang berada di Kalimantan Tengah dan Barat, menjadi asal mula aliran sungai besar seperti Kapuas, yang sering menjadi tempat mendulang emas. Sementara itu, Pegunungan Meratus di Kalimantan Selatan dikenal dengan formasi batuannya yang kaya mineral, menghasilkan emas yang terbawa arus hingga ke dasar sungai.
Jawa juga memiliki jejak pegunungan tua. Di bagian selatan Jawa Barat hingga Jawa Timur, terdapat pegunungan vulkanik yang sudah ada sejak zaman prasejarah. Sungai-sungai di kawasan ini, seperti Cimanuk dan Brantas, membawa partikel emas kecil yang terlepas dari batuan tua di hulu.
Papua, dengan Pegunungan Jayawijaya yang megah, adalah rumah bagi beberapa tambang emas terbesar di dunia. Namun, selain tambang modern, sungai-sungai di kawasan ini juga dikenal membawa emas dalam aliran aluvialnya. Pegunungan Jayawijaya adalah salah satu kawasan tertua di Indonesia, di mana proses alam selama jutaan tahun menggiling batuan besar menjadi butiran emas yang kini ditemukan di dasar sungai.
“Kalau ingin tahu sungai yang mengandung emas, lihatlah pasir hitamnya,” kata seorang penambang tradisional yang saya temui di pedalaman Kalimantan. Ia menunjukkan setumpuk pasir gelap yang ia kumpulkan dari dasar sungai. “Emas itu selalu suka bersembunyi di pasir-pasir berat seperti ini. Kalau beruntung, ada butiran kecil di dalamnya.”
Penjelasannya masuk akal. Emas adalah logam berat. Ketika terbawa arus, emas cenderung mengendap di tempat-tempat dengan aliran yang lambat—seperti tikungan sungai, dasar yang dalam, atau lubuk kecil. Di situ, ia bercampur dengan mineral lain seperti magnetit atau hematit, membentuk endapan aluvial.
Saya mengamati sungai itu lebih dekat. Di beberapa tempat, terlihat batuan kuarsa mencuat dari tepian. Batuan putih ini sering menjadi petunjuk penting. “Kalau ada kuarsa, biasanya ada emas,” lanjutnya. Kuarsa, batuan putih transparan, sering terbentuk bersama emas dalam proses hidrotermal. Saat erosi terjadi, butiran emas terlepas dari kuarsa dan terbawa ke sungai.
Namun, di balik potensi besar ini, ada risiko besar pula. Di banyak tempat, penambangan tradisional berubah menjadi eksploitasi besar-besaran. Mesin-mesin besar menggantikan dulang, mengeruk dasar sungai tanpa memikirkan dampaknya. Air menjadi keruh, ikan-ikan mati, dan ekosistem rusak.
“Emas itu berharga, tapi sungai lebih berharga,” kata penambang itu saat saya pamit. Ia menyadari, jika sungai itu rusak, maka sumber kehidupan mereka juga hilang.
Dalam perjalanan pulang, saya berpikir tentang sungai dan emasnya. Di satu sisi, mereka adalah berkah, memberikan penghidupan bagi banyak orang. Tapi di sisi lain, mereka bisa berubah menjadi bencana jika tidak dijaga dengan bijak.
Sungai yang membawa emas seolah mengajarkan kita untuk menghargai alam. Ia memberi dengan pelan, sedikit demi sedikit, seperti mengingatkan bahwa keserakahan hanya akan menghancurkan segalanya.
Di kejauhan, saya melihat sungai itu kembali. Airnya berkilauan di bawah sinar matahari. Saya tersenyum kecil, membayangkan kilauan kecil lainnya yang mungkin sedang menunggu untuk ditemukan. Tapi, semoga, mereka tetap ada untuk generasi berikutnya.
Karena sungai bukan hanya tentang emas di dasarnya. Ia adalah kehidupan yang tak ternilai harganya.