Masih Maukah Alam Menjaga Kita?

Pagi itu cerah di Halim Perdanakusuma. Langit biru tanpa awan, sinar matahari menyapu landasan pacu yang sibuk dengan aktivitas penerbangan. Saya duduk di ruang tunggu, menatap pesawat yang mendarat dan lepas landas. Pikiran saya melayang jauh ke Shanghai, tempat saya menghabiskan beberapa hari di Jiading District, menikmati pemandangan yang tak biasa saya lihat di kota-kota besar Indonesia.

Shanghai, terutama Jiading, memperlihatkan cara baru dalam hidup berdampingan dengan alam. Di sana, saya menyaksikan banyak danau buatan yang dikelilingi hutan kota. Bukan hanya estetika, tetapi sebagai tempat untuk berteman dengan air. Mereka menyebutnya sponge city.

Danau-danau itu adalah penampung air hujan. Ketika hujan deras datang, air tidak langsung membanjiri jalanan, melainkan mengalir ke danau, terserap perlahan, dan disimpan. Hutan kota di sekitarnya juga berfungsi sebagai penyerap air tambahan, mengurangi risiko genangan. Sistem ini berjalan alami, tanpa perlu pompa besar atau tanggul beton yang menghiasi kota.

Sambil menunggu panggilan penerbangan, saya membandingkan Jiading dengan Jakarta. Sebuah kota yang setiap musim hujan menjadi langganan berita banjir. Jalanan tergenang, rumah-rumah terendam, ribuan orang terpaksa mengungsi. Solusi yang diambil selalu sama: membangun tanggul lebih tinggi, menggali kanal lebih dalam, atau menambah pompa lebih besar. Namun, air tetap meluap.

Di Jiading, saya sempat berbicara dengan beberapa penduduk. Mereka bangga dengan ruang hijau dan danau buatan di lingkungan mereka. “Dulu, banjir adalah hal biasa di sini. Tapi sekarang, kami punya cara untuk hidup bersama air,” kata salah seorang dari mereka. Warga diajak berperan aktif, menjaga dan memanfaatkan ekosistem yang telah dibangun. Hutan kota dan danau buatan bukan sekadar proyek pemerintah, tapi menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari mereka.

Lalu, saya berpikir: Mengapa kita tidak bisa seperti mereka?

Jakarta dan banyak kota lain di Indonesia sebenarnya punya potensi besar. Sungai-sungai yang kini menyempit dan penuh sampah dulunya adalah jalur alami air menuju laut. Rawa-rawa yang kini menjadi perumahan dulunya adalah tempat resapan air. Namun, kita terus mengabaikan alam. Ketika banjir datang, kita justru menyalahkan hujan yang terlalu deras atau laut yang pasang terlalu tinggi.

Pengumuman keberangkatan akhirnya terdengar, membuyarkan lamunan saya. Saya berjalan menuju gerbang, melewati orang-orang yang sibuk dengan aktivitas masing-masing. Langit Halim tetap cerah, tapi saya tahu, tidak semua tempat di negeri ini menikmati pagi yang sama. Di beberapa daerah, orang-orang masih bergelut dengan genangan, menyapu lumpur dari lantai rumah mereka.

Saat pesawat bergerak di landasan, saya memandang keluar jendela. Jakarta terlihat perlahan mengecil. Gedung-gedung tinggi, jalan-jalan padat, tapi tidak ada ruang hijau yang cukup. Tidak ada tempat bagi air untuk mengalir.

Saya teringat bagaimana Jiading menata ulang ruangnya. Dengan danau-danau buatan, hutan kota, dan pola pikir yang selaras dengan alam, mereka berhasil mengurangi banjir sekaligus menciptakan kota yang lebih nyaman. Mungkin, suatu hari nanti, Jakarta dan kota-kota lainnya bisa belajar dari sana.

Bukan hanya soal mencegah banjir, tapi juga soal menghargai alam. Karena alam, jika kita jaga, akan selalu punya cara untuk menjaga kita.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *