Pada awal abad ke-20, Medan berkembang menjadi pusat ekonomi dan administrasi yang penting di Hindia Belanda. Namun, di tengah kemajuan ini, kota Medan menghadapi tantangan besar berupa banjir yang kerap melanda wilayahnya. Banjir besar yang terjadi pada tahun 1910 dan 1913 menjadi peringatan awal bagi pemerintah kolonial akan kerentanan kota ini terhadap bencana. Peristiwa ini memicu pemerintah Belanda untuk memulai berbagai studi dan proyek mitigasi banjir yang bertujuan untuk mengatasi permasalahan tersebut. Meskipun banyak upaya dilakukan, tantangan seperti keterbatasan anggaran, tekanan ekonomi untuk memperluas perkebunan, dan teknologi yang belum memadai membuat pengelolaan banjir di Medan menjadi tugas yang kompleks dan panjang.
Kerentanan Medan terhadap Banjir
Secara geografis, Medan berada di dataran rendah yang dilintasi beberapa sungai besar, termasuk Sungai Deli, Sungai Babura, dan Sungai Denai. Lokasinya yang dekat dengan pantai membuat Medan rentan terhadap genangan air saat sungai meluap. Pada awal abad ke-20, tata kota Medan berkembang pesat seiring dengan meningkatnya aktivitas ekonomi, terutama di sektor perkebunan tembakau. Pertumbuhan ekonomi yang cepat ini membawa dampak negatif terhadap lingkungan, seperti alih fungsi hutan menjadi lahan perkebunan dan pembangunan di kawasan resapan air. Akibatnya, risiko banjir di Medan meningkat secara signifikan.
Banjir besar pada tahun 1910 menjadi salah satu bencana alam pertama yang tercatat secara signifikan dalam sejarah Medan modern. Curah hujan yang tinggi selama beberapa hari menyebabkan Sungai Deli meluap, menggenangi permukiman, jalan-jalan utama, dan bangunan pemerintahan. Sistem drainase yang ada pada saat itu masih sangat sederhana dan tidak mampu menampung air dalam jumlah besar. Tiga tahun kemudian, pada tahun 1913, banjir besar kembali melanda Medan, kali ini dengan dampak yang lebih luas. Wilayah Kampung Kling, yang terletak di sekitar Sungai Deli, mengalami kerusakan parah, termasuk bangunan pengadilan kolonial (Landraad) yang terendam air hingga setinggi 15 cm.
Studi dan Proyek Kolonial Belanda
Sebagai respons terhadap banjir besar ini, pemerintah kolonial Belanda melakukan berbagai studi dan proyek mitigasi banjir. Upaya ini tidak hanya berfokus pada infrastruktur fisik, tetapi juga pada perencanaan tata ruang dan pengelolaan lingkungan di sekitar Medan.
1. Survei Drainase Kota Medan (1910–1915)
Setelah banjir besar tahun 1910, pemerintah kolonial memulai survei drainase untuk memahami aliran air di kota Medan. Studi ini mencakup survei topografi untuk memetakan jalur air alami dan saluran drainase yang ada. Hasil studi ini merekomendasikan pembangunan saluran drainase utama yang terhubung langsung dengan Sungai Deli. Namun, implementasi proyek ini berjalan lambat karena keterbatasan anggaran dan fokus utama pemerintah pada sektor perkebunan.
2. Pengerukan Sungai Deli (1916)
Sungai Deli menjadi perhatian utama dalam upaya mitigasi banjir. Pada tahun 1916, pemerintah kolonial memulai proyek pengerukan sungai untuk meningkatkan kapasitas alirannya. Proyek ini bertujuan untuk mengurangi sedimentasi yang menyebabkan meluapnya sungai saat curah hujan tinggi. Meskipun pengerukan berhasil dilakukan di beberapa titik, banjir tetap terjadi karena sistem drainase kota belum memadai dan aliran air dari daerah hulu tidak terkendali.
3. Inventarisasi Daerah Aliran Sungai (DAS) Deli (1918)
Pada tahun 1918, kolonial Belanda melakukan inventarisasi terhadap DAS Deli. Studi ini mencakup pengukuran debit sungai, pola aliran air, dan dampak deforestasi di daerah hulu terhadap banjir di hilir. Hasil inventarisasi menunjukkan bahwa deforestasi untuk ekspansi perkebunan memperburuk risiko banjir. Pemerintah kolonial merekomendasikan program reboisasi terbatas di daerah hulu, tetapi upaya ini tidak berjalan maksimal karena tekanan ekonomi untuk terus memperluas lahan perkebunan.
4. Tata Ruang Kota dan Regulasi Lahan (1920)
Pada tahun 1920, pemerintah kolonial memulai studi tata ruang kota untuk mengatur penggunaan lahan di Medan. Studi ini merekomendasikan perlindungan area resapan air di sekitar Sungai Deli sebagai zona hijau dan melarang pembangunan di kawasan yang rentan banjir. Namun, rekomendasi ini sering kali diabaikan karena prioritas utama tetap pada pengembangan ekonomi perkebunan. Alih fungsi lahan terus terjadi, sehingga risiko banjir tidak dapat dikurangi secara signifikan.
5. Kanal Drainase Utama Kota Medan (1925–1930)
Sebagai tindak lanjut dari survei drainase, pemerintah kolonial meluncurkan proyek pembangunan kanal drainase utama pada tahun 1925. Proyek ini bertujuan untuk mengalirkan air hujan dari kawasan pemukiman dan pusat kota langsung ke Sungai Deli. Sebagian kanal selesai dibangun pada tahun 1930, tetapi kapasitasnya tidak cukup besar untuk mengatasi curah hujan ekstrem, terutama ketika terjadi aliran permukaan dari daerah hulu.

Bantaran Sungai Deli pada tahun 1930 masih berupa hutan
6. Studi Polder Kota Medan (1935)
Pada tahun 1935, kolonial Belanda mengembangkan konsep sistem polder untuk mengurangi genangan air di kawasan dataran rendah. Studi ini mengidentifikasi lokasi-lokasi yang cocok untuk pembangunan kolam retensi dan pengaturan aliran air. Konsep ini diadaptasi dari pengalaman Belanda dalam pengelolaan air di negaranya. Namun, proyek ini tidak terealisasi sepenuhnya karena pecahnya Perang Dunia II yang mengalihkan fokus pemerintah kolonial.
7. Reboisasi Hulu DAS Deli (1937)
Sebagai bagian dari upaya mitigasi banjir, pemerintah kolonial memulai program reboisasi terbatas di daerah hulu DAS Deli. Program ini bertujuan untuk mengurangi aliran permukaan (runoff) yang menyebabkan meluapnya Sungai Deli. Namun, cakupan reboisasi ini sangat terbatas dan tidak cukup luas untuk memberikan dampak signifikan terhadap pengurangan risiko banjir.
8. Survei Infrastruktur Sungai dan Drainase (1939)
Pada tahun 1939, pemerintah kolonial melakukan survei ulang terhadap infrastruktur drainase dan sungai di Medan. Studi ini bertujuan untuk mengevaluasi efektivitas proyek-proyek yang telah dilakukan sebelumnya dan mengidentifikasi titik-titik kritis yang sering menjadi sumber banjir. Laporan survei ini menjadi salah satu dokumen penting yang digunakan oleh pemerintah Indonesia setelah masa kolonial untuk melanjutkan upaya mitigasi banjir.
Tantangan dan Kendala
Meskipun berbagai studi dan proyek telah dilakukan, upaya kolonial Belanda dalam mengatasi banjir di Medan menghadapi banyak tantangan. Salah satu kendala utama adalah keterbatasan anggaran. Fokus pemerintah kolonial pada pengembangan sektor perkebunan membuat alokasi dana untuk proyek infrastruktur publik, termasuk pengelolaan banjir, menjadi sangat terbatas. Selain itu, tekanan ekonomi untuk terus memperluas lahan perkebunan sering kali mengalahkan rekomendasi studi tentang perlindungan lingkungan.
Teknologi yang tersedia pada masa itu juga masih sangat terbatas. Banyak proyek, seperti pengerukan sungai dan pembangunan kanal drainase, hanya mampu memberikan solusi sementara. Di sisi lain, kurangnya pengawasan terhadap penggunaan lahan menyebabkan alih fungsi lahan tetap berlangsung, sehingga upaya mitigasi banjir tidak memberikan dampak yang berkelanjutan.
Warisan dan Pelajaran
Studi dan proyek kolonial Belanda memberikan fondasi awal bagi pengelolaan banjir di Medan. Meskipun banyak proyek tidak selesai atau gagal memberikan dampak jangka panjang, studi seperti inventarisasi DAS dan survei drainase menjadi referensi penting bagi pemerintah Indonesia di era pasca-kolonial. Peristiwa banjir besar di Medan pada masa kolonial juga menjadi pengingat akan pentingnya tata ruang kota yang mempertimbangkan risiko lingkungan.

Kantor Balai Kota Medan (1925) didesain tetap bisa beroperasi walaupun kondisi banjir

Kantor Kehakiman di Medan (1930) didesain tetap bisa beroperasi walaupun kondisi banjir
Dalam konteks modern, tantangan pengelolaan banjir di Medan masih relevan. Warisan dari studi kolonial menunjukkan bahwa mitigasi banjir memerlukan pendekatan yang holistik, termasuk perlindungan lingkungan, pembangunan infrastruktur yang memadai, dan tata kelola yang berkelanjutan. Sebagai kota yang terus berkembang, Medan perlu belajar dari sejarah untuk mengatasi ancaman banjir yang terus menghantui wilayahnya. Kejadian banjir di Kota Medan yang terus berulang harusnya bisa diselesaikan.