Cuaca Ekstrem

Cuaca ekstrem adalah kondisi atmosfer yang menyimpang secara signifikan dari pola cuaca normal dan berpotensi menimbulkan dampak besar terhadap lingkungan, infrastruktur, dan kehidupan manusia. Cuaca ekstrem terjadi akibat perubahan tekanan udara, suhu, kelembaban, dan pola angin yang tidak biasa, yang sering kali diperparah oleh perubahan iklim global. Beberapa jenis cuaca ekstrem yang umum terjadi meliputi badai tropis, gelombang panas, hujan lebat, banjir, angin puting beliung, serta kekeringan berkepanjangan.

Salah satu bentuk cuaca ekstrem yang sering terjadi adalah badai tropis dan siklon. Badai ini terbentuk di perairan hangat dengan suhu permukaan laut di atas 26°C dan ditandai dengan angin kencang serta curah hujan tinggi. Siklon tropis dapat menyebabkan bencana besar seperti banjir, tanah longsor, dan gelombang badai (storm surge) yang menghantam wilayah pesisir. Contoh dari badai tropis yang terkenal adalah Topan Haiyan di Filipina dan Badai Katrina di Amerika Serikat.

Selain badai, gelombang panas (heatwave) juga merupakan bentuk cuaca ekstrem yang berdampak luas. Gelombang panas terjadi ketika suhu udara meningkat secara drastis dalam waktu yang lama, sering kali diperburuk oleh kondisi kelembaban rendah dan minimnya angin. Fenomena ini dapat menyebabkan kekeringan parah, kebakaran hutan, serta meningkatnya risiko gangguan kesehatan seperti dehidrasi dan heatstroke. Wilayah yang sering mengalami gelombang panas adalah Eropa Selatan, Amerika Serikat bagian barat, dan Australia.

Di sisi lain, hujan lebat dan banjir merupakan bentuk cuaca ekstrem yang sering terjadi di wilayah tropis, terutama selama musim hujan dan akibat fenomena seperti El Niño dan La Niña. Curah hujan yang tinggi dalam waktu singkat dapat menyebabkan sungai meluap, menggenangi permukiman, serta merusak lahan pertanian. Hujan ekstrem juga dapat memicu tanah longsor di daerah berbukit dan pegunungan, yang semakin diperparah oleh deforestasi dan penggunaan lahan yang tidak terkendali.

Angin puting beliung dan tornado adalah jenis cuaca ekstrem yang terjadi akibat perbedaan tekanan udara yang sangat besar dalam waktu singkat. Tornado merupakan pusaran angin dengan kecepatan tinggi yang dapat mencapai lebih dari 300 km/jam, merusak bangunan, kendaraan, dan infrastruktur dalam hitungan menit. Tornado lebih sering terjadi di Amerika Serikat, sedangkan puting beliung umum ditemukan di Indonesia dalam skala yang lebih kecil.

Kekeringan berkepanjangan juga termasuk dalam kategori cuaca ekstrem. Kekeringan terjadi ketika suatu wilayah mengalami defisit curah hujan dalam waktu lama, yang menyebabkan penurunan pasokan air tanah, gagal panen, serta ancaman kelangkaan air bersih. Wilayah yang paling rentan terhadap kekeringan adalah daerah dengan iklim semi-kering seperti Afrika Sub-Sahara, Australia, serta beberapa bagian Asia Selatan dan Amerika Selatan.

Dampak cuaca ekstrem terhadap kehidupan manusia sangat besar, mencakup kerusakan infrastruktur, gangguan ekonomi, dan meningkatnya risiko kesehatan serta keselamatan. Misalnya, badai tropis dan banjir dapat menyebabkan kehancuran rumah, kehilangan hasil pertanian, serta gangguan jaringan transportasi dan komunikasi. Sementara itu, gelombang panas dapat meningkatkan jumlah kasus penyakit akibat panas, terutama di kalangan lansia dan anak-anak.

Indonesia sebagai negara tropis sering mengalami berbagai peristiwa cuaca ekstrem, seperti badai tropis, hujan lebat yang menyebabkan banjir dan tanah longsor, angin puting beliung, gelombang tinggi, serta kekeringan berkepanjangan. Faktor utama yang mempengaruhi cuaca ekstrem di Indonesia adalah perubahan iklim global, fenomena El Niño dan La Niña, serta kondisi geografis Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau dan dikelilingi oleh lautan luas. Berikut adalah beberapa peristiwa cuaca ekstrem yang pernah terjadi di Indonesia.

Badai Tropis Cempaka dan Dahlia

Pada November 2017, Indonesia mengalami dua badai tropis berturut-turut, yaitu Badai Cempaka dan Badai Dahlia. Badai Cempaka menyebabkan curah hujan ekstrem di wilayah selatan Pulau Jawa, terutama di Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Akibatnya, terjadi banjir besar, tanah longsor, dan gelombang tinggi yang mengakibatkan lebih dari 25 korban jiwa dan ribuan rumah terendam. Selang beberapa hari setelah badai Cempaka, muncul Badai Dahlia yang menyebabkan angin kencang dan hujan deras di wilayah barat Indonesia, termasuk Sumatra dan Jawa Barat.

Badai Tropis Cempaka pertama kali terdeteksi pada 27 November 2017 di perairan selatan Jawa, sekitar 100 km dari pesisir Yogyakarta dan Pacitan. Badai ini memiliki tekanan rendah yang berkembang menjadi sistem siklon tropis, yang memicu hujan lebat, angin kencang, dan gelombang tinggi di sepanjang pesisir selatan Jawa. Badai Cempaka adalah siklon tropis terdekat yang pernah terjadi di Indonesia, karena jaraknya hanya sekitar 50-100 km dari daratan. Biasanya, badai tropis di Samudra Hindia terbentuk lebih jauh dari pantai Indonesia. Dampak Badai Cempaka:

  • Curah hujan ekstrem mencapai 361 mm dalam 24 jam di Pacitan, Jawa Timur, yang merupakan salah satu rekor hujan tertinggi di wilayah tersebut.
  • Banjir besar dan tanah longsor melanda beberapa daerah, terutama Pacitan, Yogyakarta, Wonogiri, dan Sukabumi.
  • Lebih dari 25 orang meninggal dunia, sebagian besar akibat tanah longsor dan banjir bandang.
  • Jembatan dan jalan utama terputus, terutama di wilayah Pacitan dan Wonogiri, menyebabkan ribuan orang terisolasi.
  • Gelombang tinggi mencapai 6 meter, yang berdampak pada aktivitas perikanan dan pariwisata di pesisir selatan Jawa.

Setelah badai Cempaka melemah, muncul Badai Tropis Dahlia, yang mulai terbentuk pada 29 November 2017 di perairan barat daya Sumatra. Berbeda dengan Cempaka yang terjadi dekat dengan pantai selatan Jawa, Dahlia berkembang lebih jauh di Samudra Hindia, tetapi tetap memberikan dampak cuaca buruk di wilayah barat Indonesia. Badai Dahlia memiliki intensitas lebih rendah dibandingkan Cempaka, tetapi tetap memberikan dampak yang luas terutama di wilayah pesisir Sumatra dan Jawa. Dampak Badai Dahlia:

  • Angin kencang hingga 60 km/jam, menyebabkan pohon tumbang dan kerusakan bangunan di Lampung, Bengkulu, dan Sumatra Selatan.
  • Hujan deras yang memicu banjir di beberapa wilayah di Jakarta, Banten, dan Sumatra bagian selatan.
  • Gelombang tinggi 4-6 meter di Samudra Hindia yang mengancam perairan Selat Sunda, Pantai Barat Sumatra, dan selatan Jawa Barat.
  • Bandara di beberapa daerah mengalami gangguan penerbangan akibat angin kencang dan visibilitas rendah.

Badai tropis terbentuk akibat sistem tekanan rendah yang berkembang di atas perairan hangat, dengan suhu permukaan laut di atas 26°C. Kondisi ini menyebabkan penguapan air yang tinggi, yang kemudian berkondensasi dan membentuk awan badai dengan pusaran angin yang kuat.

Faktor utama yang menyebabkan munculnya Cempaka dan Dahlia adalah:

  • Suhu permukaan laut yang lebih hangat di Samudra Hindia, yang mendukung pembentukan sistem tekanan rendah.
  • Perubahan pola angin dan kelembaban atmosfer akibat La Niña, yang memicu curah hujan tinggi di wilayah Indonesia.
  • Pergeseran Zona Konvergensi Intertropis (ITCZ), yang menyebabkan aktivitas badai meningkat di sekitar ekuator.

Banjir Jakarta

Jakarta dan sekitarnya sering mengalami banjir ekstrem akibat hujan lebat. Salah satu banjir terbesar terjadi pada 1 Februari 2007, di mana hampir 60% wilayah Jakarta terendam air dengan ketinggian mencapai 3–4 meter di beberapa titik. Banjir ini menewaskan lebih dari 80 orang, mengungsi lebih dari 350.000 warga, serta menyebabkan kerugian ekonomi mencapai Rp 4,1 triliun. Penyebab utama banjir ini adalah curah hujan yang sangat tinggi, sistem drainase yang buruk, serta aliran sungai yang tidak mampu menampung debit air yang besar.

Banjir serupa terjadi kembali pada 1 Januari 2020, di mana curah hujan ekstrem hingga 377 mm/hari tercatat di beberapa daerah Jakarta dan sekitarnya. Ini merupakan curah hujan tertinggi dalam sejarah Jakarta sejak 1866. Banjir ini menyebabkan lebih dari 66 orang meninggal dunia, ribuan rumah terendam, serta infrastruktur transportasi terganggu.

Gelombang Panas

Indonesia juga mengalami kekeringan ekstrem akibat fenomena El Niño, yang menyebabkan berkurangnya curah hujan dalam waktu lama. Pada tahun 2019, beberapa wilayah di Jawa, Bali, Nusa Tenggara, dan sebagian Sumatra mengalami kekeringan parah. Krisis air bersih melanda ribuan desa, sementara lahan pertanian mengalami gagal panen. Kekeringan ini juga menyebabkan peningkatan jumlah kebakaran hutan dan lahan (karhutla), terutama di Kalimantan dan Sumatra, yang menyebabkan kabut asap tebal hingga ke Malaysia dan Singapura.

Pada 2023, Indonesia kembali mengalami dampak dari El Niño, yang menyebabkan suhu udara lebih tinggi dari biasanya dan curah hujan yang sangat rendah di sebagian besar wilayah. Kekeringan ini berdampak pada sektor pertanian, perikanan, serta meningkatkan potensi kebakaran hutan dan lahan.